Rumah
Kapitan Cina berusia 100 tahun lebih di Tangerang digusur dan dihancurkan.
Padahal bangunan ini merupakan bagian sejarah asal-usul kawasan Karawaci pada
awal abad ke-19, juga sejarah peranakan Tionghoa di daerah itu. Kini sedang ada
usaha bersama menghidupkan kembali rumah kongsi perkebunan yang memiliki gaya
Hindia dan Cina itu.
RUMAH dengan gaya arsitektur ”dua wajah” itu tak bisa lagi dinikmati di tempat aslinya. Country house seluas 4.000 meter persegi di atas lahan dua hektare milik Kapitein der Chineezen (Kapitan Cina) Oei Djie San Sia di Tangerang tinggal sisa-sisa saja. Padahal bangunan itu merupakan satu-satunya rumah perkebunan bergaya arsitektur Tionghoa-Indisch di sini.
Wajah pertama rumah yang pernah megah itu bisa dilihat dari arah Jalan Teuku Umar, Karawaci, dan tampak masih utuh bergaya Hindia Belanda (Indisch) campuran arsitektur gaya Belanda dengan unsur lokal dan negeri berhawa tropis. Terlihat atap joglo Jawa yang mulai reyot ditopang pilar kokoh tuscan kuning gading ala Yunani. Juga jendela krepyak berukuran besar dengan penyangga besi tempa berukuran raksasa, khas Eropa Barat. Rumah itu tertutup rapat, sudah tak lagi berpenghuni sejak awal Desember 2008. Menurut Marjaya, 65 tahun, bekas pegawai perkebunan karet milik anak-cucu Oei Djie, tempat itu dulu merupakan aula untuk pertemuan dan dansa.
Menyusuri jalan samping ke arah Sungai Cisadane, tampaklah wajah satunya: rumah gaya Tionghoa, yang menghadap ke sungai. Gerbang besar pintu masuk rumah itu, menurut Ook, 50 tahun, warga setempat, dulu terbuat dari besi tinggi ditopang dengan pilar batu besar. Penyangga batunya digambarkan Ook sama besar dengan lima orang dewasa yang melingkar bergandengan tangan.
Di lokasi bekas bangunan bergaya Tionghoa itulah dua arsitek dari Kantor Arsitek Budi Lim Associates dan dua mahasiswa magang tampak mencatat dan mengukur-ukur bangunan yang tersisa. Memang masih tampak dari samping kanan sisa wuwungan ciri khas Cina. Selain beberapa dinding, kayu-kayu jati dan ulin, serta atap rumah dengan ukiran Cina di bagian depan, bagian lain sudah hancur berantakan. Untuk yang tak mengetahui sejarahnya, rumah itu seperti sekadar rumah lama yang hancur, teronggok, dan tak terawat.
Ya, rumah Kapitan Cina itu memang memiliki sejarah panjang, terutama tentang penyebaran Cina di Indonesia. Pemiliknya, Oei Djie, diangkat menjadi Kapitan Cina pada November 1907, menggantikan Oey Giok Koen. Saat itu Oei Djie menjabat wakil ketua perkumpulan kaum Tionghoa peranakan, Tiong Hoa Hwee Koan, cabang Tangerang.
Nah, Oei Djie menempati rumah kakek buyutnya. Menurut ahli budaya Tionghoa peranakan, David Kwa, dari gaya bangunannya, rumah yang ditempati Oei Djie itu dibangun pada akhir abad ke-18. ”Dua gaya ini seolah bertolak belakang, tapi digabungkan. Ini menunjukkan pemiliknya orang Tionghoa yang berpendidikan Belanda,” ujarnya.
Bangunan rumah tinggal bergaya Cina ini aslinya berciri arsitektur Fujian Selatan (Minnan). Rumah tinggal ini terdiri atas bangunan utama di tengah, diapit dua bangunan di kiri dan kanan, serta bangunan belakang yang lebih tinggi dengan sebuah paseban atau pendapa di depannya. Gaya bubungan atapnya mirip kelenteng, seperti busur dengan ujung kiri dan kanannya mencuat ke atas, masing-masing terbelah dua. Bubungan atas (tongcid) seperti itu disebut yanbue atau ekor walet. Sepasang singa batu (cioqsar atau killin) di kiri-kanan memperkuat kesan sebagai bangunan persembahan.
Di tempat asalnya, bangunan seperti itu punya posisi istimewa dalam masyarakat. Pada masa akhir dinasti Qing di Tiongkok (1644-1911), berlaku ketentuan, ujung bubungan atap mirip ekor walet dan sepasang singa batu hanya boleh digunakan untuk bangunan pemerintahan dan keagamaan serta kediaman pejabat pemerintah. Rakyat biasa dilarang menggunakan simbol itu. Orang kebanyakan hanya diizinkan memakai bubungan atap bergaya pelana (bepeu), juga tanpa sepasang singa batu. Itulah yang menjelaskan mengapa di Indonesia, selain kelenteng, bangunan bergaya seperti rumah kongsi Oei Djie sangat langka.
Di Jakarta, gaya arsitektur seperti itu ada pada bangunan Candra Naya di Jalan Gajah Mada, Glodok, tapi sudah rusak. Ada juga di Jalan Kemurnian, yang dijadikan Gereja Santa Maria de Fatima, dan rumah bekas kediaman Lieutenant Souw Siauw Keng di Jalan Perniagaan. Sedangkan bangunan gaya Cina di berbagai tempat di Indonesia kebanyakan bergaya pelana.
Rumah Oei Djie bukan sekadar rumah pejabat Cina di zaman kolonial Belanda, tapi juga merupakan pusat pembukaan lahan kawasan sekitar. Keluarga Oei Djie mengelola kebun karet ratusan hektare. Daerah tersebut kini sudah menjadi kompleks perumahan hunian masyarakat menengah-bawah, yaitu Perumnas I, II, dan III Tangerang.
Sayang, rumah yang sudah tak terurus itu sejak awal Desember 2008 harus dipreteli dengan ultimatum dua bulan mesti bersih dibongkar, karena lahannya sudah dijual untuk dijadikan restoran cepat saji ala Amerika. Menurut Sekretaris Daerah Kota Tangerang Harry Mulya Zein, daerah tersebut berdasarkan rencana tata ruang wilayah memang diperuntukkan sebagai tempat perdagangan.
Arsitek Yori Antar menyayangkan tak dipertahankannya rumah kongsi Kapitan Oei Djie itu. ”Tangerang akan mengalami amnesia sejarah jika bangunan ini hilang,” katanya. Pakar bangunan tua yang ikut merancang kawasan Menteng, Jakarta, Adolf Heuken, juga turut bersedih. ”Seharusnya rumah ini masuk cagar budaya,” katanya dalam pertemuan yang digelar Warga Peduli Bangunan Tua pada pertengahan Desember lalu.
Namun Pemerintah Kota Tangerang mengaku tidak mengetahui bangunan tua itu termasuk situs bersejarah. Menurut Harry, seharusnya Pemerintah Kabupaten Tangerang atau Dinas Purbakala Provinsi Banten memberikan data dan dokumen, atau informasi, tentang status bangunan tersebut. ”Sehingga kami bisa mengkonservasinya, menganggarkan perawatan bangun-an,” kata Harry kepada koresponden Tempo di Tangerang, Ayu Cipta.
Karena pihak pemerintah lepas tangan, seorang peranakan Tionghoa Indonesia yang tinggal di London, Inggris dia menolak disebut namanya tertarik mengkonservasi rumah Oei Djie. Budi Lim, arsitek lulusan Universitas Oxford, Inggris, dimintai bantuan. Sebab, Budi dianggap berhasil mengkonservasi bangunan bekas istana Gubernur Jenderal Reinier de Klerk yang dibangun pada 1760 menjadi Gedung Arsip Nasional di Jalan Gajah Mada, Jakarta. ”Sebenarnya konsentrasi saya pada kawasan Kota Tua Jakarta, tapi saya terpanggil saat rumah Kapitan Cina di Tangerang tak mendapat perhatian sama sekali. Ibarat ada orang sedang diperkosa, saya harus membantu sebisa mungkin,” ujarnya.
Namun si pembeli sisa-sisa rumah itu hanya mampu membeli bangunan tanahnya tidak. Itu pun, untuk melakukan konservasi, masih banyak bagian bangunan yang harus dikumpulkan dari banyak pihak. ”Pernak-pernik dan bagian penting bahan bangunan lain sudah berada di banyak orang. Bahkan ada yang tak bisa kami lacak keberadaannya,” kata Budi.
Di lapangan, Deni Sasmita, arsitek dari Kantor Arsitek Budi Lim, bersama rekan-rekannya setiap hari mulai pagi hingga pukul delapan malam menginventarisasi ornamen dan berbagai bagian dari bangunan tersebut. Tidak hanya mengukur bangunan dengan meteran digital, mereka menjaga detail dan mengumpulkan terakota lantai rumah itu. Menurut Deni, arsitek lulusan Universitas Tarumanagara, Jakarta, memindahkan bubungan atap itu harus ekstra-hati-hati untuk menghindari kerusakan.
Tugas tim yang sudah dua pekan bekerja ini, selain mendokumentasikan, memetakan, dan menginventarisasi bangunan, adalah mengumpulkan serpihan dan potongan benda yang tercecer. Semua kerja itu, menurut Deni, membutuhkan waktu cukup lama.
Pembeli baru bangunan ini, menurut Deni dan Budi, akan membangun kembali rumah itu dengan model dan kawasan yang sama, tak jauh dari tempat semula. ”Rumah yang bergaya Tionghoa akan tetap menghadap ke sungai. Namun sampai sekarang kami belum menemukan lokasi yang tepat. Tentu saja harga tanah seluas dua hektare tidak murah,” kata Budi.
Baik Budi maupun pemiliknya nanti akan membangun museum hidup dan pusat studi peranakan Tionghoa di tempat baru tersebut. ”Bahkan orang yang semula tinggal akan diundang kembali menempati rumah tersebut, agar rohnya tetap terjaga,” ujar Budi Lim.
Blog yang menarik, mengingatkan saya akan Deng Xiao Ping, dikenal sebagai “Bapak Reformasi” Tiongkok, Bapak Deng di tahun 1978 mengumumkan kebijaksanaan baru, “Kebijaksanaan Pintu Terbuka”
BalasHapusSaya mencoba menulis blog tentang hal ini, semoga anda juga suka di https://stenote-berkata.blogspot.com/2021/06/wawancara-dengan-bapak-deng.html